Demokrasi Indonesia: Sekadar Prosedural atau Substansial?

By Admin


Swary Utami Dewi

Pegiat Aksi Literasi dan Urban Sufism

nusakini.com - Perjalanan demokrasi Indonesia di era reformasi sudah berjalan selama lebih kurang 20 tahun. Sudahkah demokrasi berjalan baik? Ataukah ada hal-hal yang ternyata masih jauh dari harapan? Apa yang terjadi sesungguhnya? Inilah yang digali dalam diskusi virtual Muslimah Reformasi, 8 Agustus 2020, yang menghadirkan Prof. Musdah Mulia dan Ray Rangkuti. Sementara Dr. Latri M. Margono bertindak sebagai moderator.

Kedua pembicara mencatat bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Demokrasi di Indonesia secara infrastruktur memang sudah memadai. Secara prosedur ada berbagai aturan yang dibuat. Secara sistem dan kelembagaan sudah banyak yang dibenahi.

Tapi apakah ini menjawab kegelisahan banyak orang tentang beberapa praktik yang dinilai tidak demokratis? Jika demokrasi sudah berjalan baik, mengapa sekarang masih berkembang KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)? Kenapa olirgarki makin menggurita? Kenapa politik dinasti makin menguat?Kenapa money politics masih terjadi? Kenapa politik aliran makin berkembang? Kenapa kekerasan kerap terjadi dengan balutan isu mayoritas dan justfikasi ideologi mazhab tertentu?  

Jawabannya adalah karena demokrasi di Indonesia masih mengutamakan demokrasi yang prosedural. Demokrasi seolah-olah sudah berjalan dengan baik karena jargon dan balutan yang membungkus.

Sebagai contoh, kehendak mayoritas kadang menjadi tameng untuk menindas. Ideologi tertentu yang diklaim sesuai agama mayoritas juga bisa menjadi alasan dominasi dan tindak kekerasan. Politik aliran makin sering ditemui.

Sejalan dengan itu, catatan KKN juga makin berkembang dalam kehidupan "demokrasi" kita. Ini misalnya muncul dalam bentuk oligarki yang mencampuri kekuasaan, politik uang dalam pemilu dan pilkada, serta pencalonan dari keluarga tertentu yang sedang berkuasa.

Demokrasi prosedural, menurut Ray, sesungguhnya meminimalisir demokrasi. Politik dinasti secara aturan bisa jadi tidak dilarang. Siapa bisa melarang anak si A atau B, istri si C atau D untuk dicalonkan? Apalagi dengungannya, itu adalah hak asasi manusia, hak politik setiap warga negara. Bolehkah? Tentu saja boleh. Melanggar aturan? Tentu saja tidak. Tapi baikkah itu? Patutkah itu? Pantaskah itu?

Pertanyaan-pertanyaan seputar kepatutan, kepantasan, kelayakan, lantas mengantarkan kita memasuki tawaran demokrasi yang sesungguhnya, yakni demokrasi substansial. Jika dalam demokrasi prosedural, sesuatu hanya terbatas pada pematuhan aturan atau kadang sering dibalut dengan tameng "boleh" atau justifikasi tertentu, maka demokrasi substansial mengajak kita menukik lebih dalam. "Seolah-olah sudah ada demokrasi" atau pseudo-demokrasi ini haruslah dikelupas menuju konteks yang substansial.

Maka, demokrasi substansial bukanlah sebatas prosedural atau pembolehan semata. Ia mensyaratkan adanya etika dan moral yang menyertai tindak tanduk setiap warga negara dalam menjalankan demokrasi. Pertanyaan boleh tidaknya, beranjak menjadi etis tidaknya, layak tidaknya, patut tidaknya. Jelang 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hendaknya mampu membuka kesadaran kita untuk menjalankan demokrasi yang lebih hakiki, bukan balutan demokrasi yang seolah-olah. Etika dan moral dalam berdemokrasilah yang hendaknya menjadi lentera kita bersama. (pr/eg)